3/19/2012

GADAI (RAHN)


Gadai bukan hal baru bagi kita, karena transaksi semacamnya sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama. Sebagai  ketetapan Allah menghapus riba dari muka bumi, semakin maraknya usaha berlebel syariah hingga muncul dan lahirlah gadai syariah (rahn). Ar-Rahn adalah transaksi gadai yaitu mendapat pinjaman dengan memberikan jaminan kepada si pemberi pinjaman sesuai dengan prinsip syariah . Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

Tiap-tiap unsur rahn memiliki syarat-syarat yang wajib dipenuhi demi tuntutan keshahihan transaksi tersebut. Baik rahin, murtahin, marhun bih, dan marhun, telah ditentukan apa yang wajib dipenuhi.
Dengan dasar Al-Quran dan Hadist, sehingga diperbolehkan adanya praktek rahn dalam Islam. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah prosedur dan sistem operasional yang berlaku juga sudah sesuai dengan dasar Al-Quran dan As-Sunnah?


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gadai yaitu:
1. Suatu pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai batas waktunya tidak ditebus, barang menjadi hak yang memberi pinjaman.
2. Barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.
3. Kredit jangka pendek dengan jaminan sekuritas yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak yang bersangkutan.
Menurut bahasa gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terperajat.[1]
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.[2] Menurut bank indonesia (1996), rahn adalah akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang.
Menurut Syara’ rahn merupakan
حَبْسُ شَئٍ بِحَقٍّ يُمْكِنُ إِسْتِفَا ؤُهُ مِنْهُ
“penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”[3]

Allah menetapkan kebolehan pinjam-meminjam dalam firman-Nya dalam QS. Al-baqarah :283 yang berbunyi,

 * bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[4] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a juga disebutkan
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ: وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلّي اللّهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًالَهُ بِاالمَدِيْنَةِ عِنْدَيَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَمِنْهُ شَعِيْرًالِأَهْلِهِ
“Rasulullah SAW. Merungguhkan (menggadaikan) baju besi kepada orang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.”
Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan antara kaum muslim dan non-muslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada non-muslim.[5]

Rukun rahn yaitu:
1.      Shighat atau ijab qabul
2.      Aqid (yang menggadaikan/Rahin dan yang menerima gadai/Murtahin)
3.      Barang yang dijadikan jaminan (marhun)
4.      Adanya hutang
Adapun syarat- syarat yang harus terpenuhi pada setiap rukun Rahn yaitu:
1.      Shighat, yaitu bisa dengan lisan atau tulisan. Misalnya dengan kalimat “aku gadaikan emasku ini dengan harga Rp. 500.000,-“, yang kemudian dijawab oleh murtahin dengan kalimat “aku terima gadai emasmu dengan harga Rp. 500.000,-“. Bahkan hanya dengan menggunakan isyaratpun boleh.
2.      Aqid, adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.[6] Keduanya juga harus lulus syarat al-ahliyah.
3.      Barang jaminan (Marhun), ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:[7]
a.      Dapat diperjualbelikan
b.      Bermanfaat
c.       Jelas
d.      Milik rahin
e.      Bisa diserahkan
f.        Tidak bersatu dengan harta lain
g.      Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
Rasulullah SAW. Bersabda:
كُلُّ مَا جَازبَيْعُهُ جَازَرَهْنُهُ
“setiap barang yang boleh diperjualbelikan boleh dijadikan barang gadai”.[8]   
4.      Hutang (Marhun Bih), dengan syarat berupa hutang yang dapat langsung diberikan kepada rahin oleh murtahin. Hutang merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang yang berhutang.[9]

Jumhur ulama berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahn mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada hutang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.[10] Berbeda dengan Hanabilah dan Hanafiyah yang membolehkan pemanfaatan marhun seizin rahin.
Mengenai biaya perawatan atas marhun, fuqaha sepakat hal-hal yang berkaitan dengan marhun hakekatnya adalah hak rahin. Begitupun biaya perawatannya.
Tapi akan berbeda ketika marhun berupa hewan, misalnya sapi perah. Murtahin dalam hal ini diperbolehkan mengambil susu dari sapi tersebut sebagai imbalan perawatannya, dikarenakan biaya perawatan tidak dimintakan dari rahin.
Seperti dalam sebuah hadist:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إذاكَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدَّرِّيَشْرَبُ إذَا كَانَ مَرْهُوْنَاوَعَلَى الّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ (رواه البخارى)
“binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.”[11]    


Madzhab Syafi’i memperbolehkan pemanfaatan rahin atas marhun walaupun atas seizin murtahin, karena barang tersebut masih milik rahin secara sempurna, asal tidak merugikan murtahin. Hanabilah memperbolehkan pemanfaatannya atas izin murtahin. Sedangkan Maliki melarang pemanfaatan marhun oleh rahin walaupun dengan seizin murtahin, karena kepemilikannya sudah tidak sempurna.
Dalam hal ini, Syafi’i dan Hanafi bersengketa. Syafi’i berpendapat bahwa murtahin tidak menanggung kerusakan dan kehilangan marhun, selama bukan karena kelalaian murtahin. Namun bagi Hanafi, kehilangan marhun tetap menjadi tanggungan murtahin baik karena kelalaiannya maupun tidak.

Berakhirnya akad rahn dengan beberapa keadaan:
1.    Marhun dikembalikan kepada pemiliknya
2.    Marhun dijual paksa oleh murtahin
3.    Rahin melunasi semua hutang
4.    Hutang dibebaskan atau dipindahtangankan
5.     Rahin meninggal dunia
6.    Pembatalan rahn oleh murtahin
Sebelumnya kedua belah pihak telah menyetujui akad kapan rahin akan melunasi hutangnya kapada murtahin. Jika saat jatuh tempo rahin belum mengembalikan uang yang dipinjam, murtahin tidak berhak mengakui kepemilikan atas marhun tersebut, tapi murtahin behak menjual marhun. Siapa saja boleh membelinya, termasuk murtahin sendiri.
Karena hak murtahin hanya sebatas hutang rahin, maka jika penjualan marhun melebihi hutang rahin kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada rahin. Begitupun sebaliknya, apabila kurang itu menjadi tanggungjawab rahin.
Kontrak Rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:[12]
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai kad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’i al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
Di beberapa negara Islam termasuk diantaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga: yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah
sebagai berikut:
a.      Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank
b.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c.       Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.
Adapun manfaat yang langsung didapat di bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebuut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
Adapun risiko yang mungkin terjadi pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah :
a.      Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
b.      Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
Secara umum, penerapan gadai yang dikombinasikan dengan pembiayaan di perbankan syariah, dapat digambarkan sebagai berikut.
1.       Pemberi Hutang
 
Flowchart: Process: MARHUN BIHI
(Hutang)

 
                                                                                       
                                   

                           
2.       Akad transaksi
 
Flowchart: Process: RAHINFlowchart: Process: MURTAHIN                                                                          


 

Flowchart: Process: MARHUN
(Barang)                                                                 


 

                                                                           

Gambar 1. Skema gadai syariah (Rhan)[15]
Skim gadai syariah merupakan produk pembiyaan yang fleksibel, karena dapat digunakan untuk pembiayaan konsumtif dan juga produktif.[16]
Yang menjadi pembahasan adalah bagaimana menentukan biaya pemeliharaan dan biaya sewa tempat penyimpanan. Dalam pinjam-meminjam tidak diperbolehkan adanya tambahan biaya yang didasarkan pada uang yang dipinjam. Sehingga dalam gadai syariah, penentuan biaya ditentukan oleh objek barang yang digadaikan.
Contoh:[17]
Ibu Eva membutuhkan uang sebesar Rp. 10.000.000,-. Untuk itu, beliau mendatangi Bank syariah untuk meminjam uang dengan jaminan emas seberat 30 gr yang dimilikinya.(asumsi: biaya pemeliharaan emas adalah Rp. 3000/gr).
·         Perhitungan Bank:
Harga taksiran bank atas emas               =Rp. 12.000.000,-
Maksimum pinjaman                               =75% dari nilai taksiran
                                                                 =75% x Rp. 12.000.000,-
                                                                 =Rp. 9.000.000,-
Biaya pemeiharaan 30 gr emas              =Rp. 90.000,-
·         Fasilitas Bank untuk Ibu Eva:
Pinjaman                                                  =Rp. 9.000.000,-
Biaya (dibayar di muka)                          =Rp. 90.000,-
Jangka waktu                                           = 2 bulan





Berdasar pada Al-Quran dan Hadist bahwa rahn boleh dijalankan, melahirkan transaksi gadai dengan prinsip syariah yang dikenal dengan sebutan Ar-Rahn. Transaksi gadai syariah (rahn) diperuntukkan untuk orang-orang yang membutuhkan dana jangka pendek dengan menyerahkan jaminan kepada Lembaga Keuangan terkait.
Tapi di dunia perbankan, aplikasi rahn hanya berlaku untuk barang jaminan berupa emas, baik perhiasan maupun batangan. Hal ini menghilangkan citra bank syariah sebagai lembaga keuangan yang tidak hanya profit oriented tapi juga falah oriented.
Masalah yang timbul dari rahn emas sendiri bukan masalah sepele. Seperti halnya “kebun emas”. Dimana orang dapat mendapatkan keuntungan hanya dengan bolak-balik bank dan toko emas. Sempat ricuh, tapi dengan sigap dihadapi dengan dikeluarkannya peraturan maksimal pembiayaan rahn emas sebesar 10% dari total pembiayaan.   


 
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari teori ke praktek. Jakarta: Gema Insani.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Zulkifli, Sunarto. 2007. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim.

 


[1] Lihat Kifayat Al-Akhyar hal.261, lihat pula Idris Athllad, Fiqh al-syafi’iyah. Hal. 59
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah; cet. Ke-8, vol.3; hal. 169. Abdurrahman al-Jaziry, Al-fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, vol.2, hal. 305
[3] Syafe’i Rachmat, fiqih Muamalah. Hal. 159
[4] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
[5] Suhendi hendi, Fiqh Muamalah. Hal.107
[6] Ibid,
[7] Al-kasani, Al-badai’ Ash-shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz VI. Hal. 135-140
[8] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 263
[9] Latif Azharuddin, Fiqh Muamalat, hal. 155
[10] Suhendi Hendi. Loc.cit hal.108
[11] Lihat Al-Kahlani, Subul As-Salam, hal. 51
[12] Antonio Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Zulkifli Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah
[16] Zulkifli Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, hal. 87
[17] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar