Harta berdasarkan sifatnya
bersedia dan dapat dimiliki oleh manusia, sehingga manusia dapat mamiliki suatu
benda. Harta yang dikuasai manusia pada hakekatnya adalah milik Allah SWT.
Kedudukan manusia hanyalah sebagai makhluk yang diberi amanah (kepercayaan)
untuk menguasai dan mendayagunakan harta tersebut sesuai petunjuk Allah SWT dan
Rasul-Nya. Walaupun demikian tidak semua manusia dapat menguasai atau
memilikinya sehingga ia dapat dengan bebas mendayagunakannya. Faktor-faktor
yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain:
A. Ihrazul muhabat (eksplorasi),
yaitu memiliki benda-benda yang boleh dimiliki, atau menempatkan sesuatu yang
boleh dimiliki disesuatu tempat untuk dimiliki.
المَالُ الّذي لَمْ يَدْخُلُ فِى مِلْكِ مُحْتَرَمٍ وَلَا يُوْجَدُ
مَاتِعٌ شَرْعِىٌّ مِنْ تَمَلُّكِهِ
“harta yang tidak
masuk kedalam milik yang dihormati (milik seseorang yang sah) dan tak ada pula
sesuatu penghalang yang dibenarkan syara’ dari memilikinya.”
Inilah yang
dikatakan mubah. Seperti air yang tidak dimiliki seseorang, rumput dan
pepohonan dihutan belantara, binatang buruan dan ikan-ikan dilaut, ini semua
adalah barang mubah. Semua orang dapat memiliki apa yang disebutkan itu.
Apabila dia telah menguasai dengan maksud memiliki, menjadilah miliknya.
Menguasai dengan maksud memiliki itu dikatakan ihraz. Kemudian memiliki benda-benda yang mubah dengan jalan ihraz,
memerlukan dua syarat :
Pertama : janganlah benda
itu diihrazkan orang lain terlebih dahulu. Umpamanya, apabila seseorang telah
mengumpulkan air hujan dalam suatu wadah dan dibiarkan air hujan itu, tidak
diangkat ketempat lain umpamanya, maka orang lain tidak berhak lagi mengambil
air dalam wadah itu karena air ini tidak merupakan barang mubah lantaran telah
diihrazkan oleh seseorang. Maka karena itulah qa’idah berkata :
مَنْ سَبَقَ إِلىَ مُبَاحٍ فَقَدْ مَلَكَهُ
“barang siapa mendahului yang lain kepada sesuatu yang mubah
bagi semua orang, maka sesungguhnya ia telah memilikinya.”
Kedua :
tamalluk, maksudnya jikalau seseorang memperoleh suatu benda mubah,
dengan tidak maksud memilikinya, tidaklah benda itu menjadi miliknya. Umpamanya
seorang pemburu meletakkan jaring penangkap lalu terjeratlah seekor binatang
buruan, maka jika ia meletakkan jaringannya sekedar mengeringkan jaring itu,
tiadalah dia berhak memiliki binatang buruan yang terjerat oleh jaringannya.
Orang lain masih boleh mengambil binatang itu dan memilikinya. Dan yang
mengambil itulah dipandang muhriz, bukan pemilik jaring.
B.
Aqad (transaksi)
إِرْبِتَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَظْهَرُ
أَثَرُهُ فِى مَحَلّهِ
“Perikatan ijab dengan kabul secara yang
disyari’atkan agama nampak bekasannya pada yang diakadkan itu”
Akad,
yaitu
pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak
syari’ah (Allah dan Rasulnya) yang menumbulkan akibat hukum pada obyek akad.
Seperti akad jual beli, hibah dan wasiat. Akad merupakan sumber utama
kepemilikan.
Masuk kedalam uqud, dari segi menjadi sebab milkiyah atau
malakiyah yaitu :
a. Uqud
jabariyah, yaitu
aqad-aqad yang harus dilakukan berdasarkan kepada keputusan hakim, seperti
menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Maka penjualan itu salah,
walaupun dia menjual karna dipaksa oleh hakim, dan hakim memaksa menjual karang
itu untuk membayar hutang kepada orang lain.
b. Istimlak untuk masiahat umum.
Umpamanya tanah-tanah yang disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid,
harus dapat dimiliki oleh masjid dan harus pemilik yang menjualnya
C. Khalafiyah (pewarisan)
Khalafiyah adalah berpidahnya sesuatu menjadi milik seseorang karena
kedudukannya sebagai penerus pemilik lama atau kedudukannya sebagai pemilik
barang tertentu yang telah rusak atau musnah dan digantikan dengan sesuatu yang
baru oleh orang yang merusakkannya.
حُلُوْلُ شَخْصٍ اَوْ شَيْءٍ جَدِيْدٍ مَحَلَّ قَدِيْمٍ زَائِلٍ فِى
الحُقُوْقِ
“bertempatnya
seseorang atau sesuatu yang baru di tempat yang lama yang telah hilang, pada
berbagai macam rupa hak”
Khalafiyah ini ada dua macam :
a. Khalafiyah
syakhsy’an syakhsy
dan itulah yang dikatakan irts dalam istilah kita.
Irts adalah khalfiyah
dimana si-waris menempati tempat si murrits dalam memiliki harta-harta
yang ditinggalkan oleh muarrist, yang dinamakan tarikah dan tentang
segala masuliyah-masuliyah maliyah terhadap tarikah itu.
Maka apabila yang meninggal tidak
meninggalkan harta atau harta itu kurang dari jumlah hutangnya, maka si-waris
tidak bertanggung jawab terhadap hutang itu. Karena irts sebab bagi
memiliki harta, bukan sebab membayar hutang. Karena inilah tidak diharuskan
membayar hutang-hutang si muwarits.
b. Khalafiyah
syai’an syaiin dan
itulah yang dikatakan tadlmin, atau ta’widl (menjamin kerugian).
Apabila seseorang merupakan milik
orang lain, atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak ditangannya atau hilang, maka dalam keadaan ini wajiblah
dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian sipemilik harta. Karena
demikian, orang yang dirugikan berhak menerima iwadl. Dalam hal ini
masuklah diat, dan arsyul jinayat.
SEBAB-SEBAB MILKIYAH