A.
Pendekatan Marjinal
Salah satu konsep
yang digunakan oleh para pakar ekonomi
neo-klasik dalam membahas ramalan
Marx adalah konsep analisis marjial
(marginal analysis).
Analisis marjinal merupakan pengaplikasian kalkulus diferensial terhadap tingkah laku konsumen dan produsen serta penentuan harga-harga
di pasar. Teori nilai neoklasik yang berdasarkan pada kepuasan
marjinal telah meghapus teori kapitalis yang berdasarkan nilai tenaga kerja
atau biaya produksi.
Konsep ini pada
awalnya sering diakui para madzhab Austria.Namun setelah ditelusuri, ternyata
sudah ada yang mengemukakan dan mengembangkan teori tersebut sebelumnya oleh
Heindrich Gossen (1810-1858). Menurut Gossen, manfaat tambahan (marginal utility) yang dirasakan dari
suatu barang akan semakin menurun jika dikonsumsi semakin banyak. Pernyataan
inilah yang kemudian kita kenal sebagai “hokum Gossen pertama”. Berbeda dalam
hokum Gossen kedua, beliau menjelaskan ketika sumber daya yang relative
terbatas harus memenuhi kebutuhan yang relative tidak terbatas.
Dengan kendala
terbatasnya sumber daya dan dana, kepuasan maksimum yang dapat diperoleh pada
saat marginal utility sama dengan
barang yang dikonsumsi.
B.
Mazhab Austria
Sekitar
tahun 1870 terdapat sebuah ajaran nilai baru yang dikemukakan oleh Karl Menger,
Leon Walras dan W. Stenley Jevons tentang nilai obyek terhadap konsumen. Dinyatakan bahwa suatu barang
mempunyai nilai karena barang itu memberika nilai guna bagi subyek penilai dan konsumen sebagai obyek penilai terakhir dalam
memenuhi kebituhannya. Karl Menger (1840-1921) dengan karya utamanya Grusatze der Volks Wirschafitslehre (1871)
mengembangkan teori marjinal yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan
teori-teori ekonomi.
Mazhab
Austria telah memecahkan antinomi nilai yang tak terpecahkan oleh kaum klasik
yaitu barang yang mempunyai nilai pemakaian yang terbesar mempunyai nilai
pertukaran yang paling sedikit. Menger berpendapat pembedaan antara kegunaan
jumlah seluruhnya suatu barang dan kegunaan satuan tertentu yang ditambahkan
atau dikurangi dari persediaan yang ada, serta tidak hanya mempehatikan kegunaannya tetapi juga kelangkaannya.
Pada
tahun 1903 Menger digantikan posisinya oleh Friedrich von Wieser (1851-1920)
dengan karyanya Uber den Ursprungund die
Hauptgesetze des Wirtschaftlichen Werts, Der Naturliche Wert dan Theory der Gesselschatlichen Wirtschaft.
Wieser mengembangkan teori marginal Menger dengan menambahkan biaya-biaya
oportunitas (opportunity cost).
Kedudukan Wiser digantikan oleh Eugen von Bohm-Bawerk (1851-1914) dengan
karyanya Capital and Interest dan Positive Theory of Capital. Bohm-Bawerk
mengembangkan teori modal (theory of
capital) dan tingkat suku bunga.
Teori
Bunga von Bohm Bawerk menyatakan bahwa bunga adalah agio tiap satuan waktu
daripada nilai yang dinerikan kepada pemkaian sekarang atau pemakain kelak
suatu barang. Dengan 3 alasan yaitu :
·
Perbedaan
dalam perbandingan antara kebutuhan dan alat-alat pemuas kebutuhan.
·
Besarnya
bunga merupakan titik keseimbangan di pasaran baik sekarang atau kelak.
·
Kedudukan
bunga ditetapkan oleh keuntungan yang menjadi bagian pemodal dalm keadaan
keseimbangan.
Teori diatas kemudian
dikembangkan oleh Knut Wicksell, von Mises, F.A Hayek dan J.R Hicks.
Knut
Wicksell (1851-1926) menyatakan besarnya bunga yang biasa adalah sama dengan
bunga yang terjadi dalam suatu masyarakat tanpa uang pada titik keseimbangan
permintaan akan barang modal dan penawaran penghematan, keduanya sebagai
penukaran barang-barang sekarang dengan barang-barang kelak.
Ludwig
Edler von Mises (1881-1973) meyatakan sistem harga merupakan basis efisiensi
dalam mengalokasikan sumber daya dan sistem komando tidak akan dapat
melembagakan sistem harga tanpa terlebih dahulu menghancurkan prinsip-prinsip
politik.
Friedrich
August von Hayek (1899-1992) memperoleh pengakuan dari seluruh dunia sebagai
pejuang pasar bebas dan seorang lawan dari campur tangan pemerintah terhadap
hak individu untuk ikut serta dalam pertukaran bebas melalui pasar. Salah satu
karyanya yaitu Monetary Theory and Trade
Cycle. F.A Hayek sangat berjasa dalam mengembangkan teori siklus
perdagangan (Theory OF Trade Cycle)
dan dianugerahi hadiah nobel tahun 1974 bersama dengan Gunar Myrdall.
C.
Mazhab Lausanne
Mazhab
Lausanne (Lausanne School of Economics)
didirikan oleh Leon Walras. Leon Walras adalah salah satu pemikir ekonomi
neo-klasik dengan karyanya yang mahakarya dalam bidang ekonomi yaitu Elements of Pure Economics).
Walras
memberikan beberapa sumbangan penting dalam bidang ekonomi bersama dengan Jevon
dan Menger. Ia adalah salah seorang yang pertama dan terkuat dalam
mendukung individualisme metodologis. Walras
membangun psebuah model keseimbangan ekonomi yang memandang sistem ekonomi
sebagai rangkaian persamaan matematika yang berhubungan dan menjelaskan
bagaimana memecahkan rangkaian persamaan ini untuk semua harga dan kuantitas.
Setelah
meninggalnya Walras, kedudukannya digantikan oleh Vilfredo Pareto. Pereto
menilai suatu pengalokasian sejumlah sumber disebut efisien jika dalam suatu
re-alokasi tidak ada seorang individupun yang memperoleh kesejahteraan tanpa
mengurangi kesejahteraan orang lain. Pernyataan tersebut dikenal dengan hukum
Pareto (Pareto Law’s). Sebagai
tambahan, kondisi yang efisien tidak harus terjadi pada saat semua orang
mendapatkan “kue” yang sama besarnya, bisa saja berlangsung dengan pemerataan
pembagian “kue” yang pincang.
D.
Mazhab Cambridge
Dari sekian
banyak tokoh neo-klasik yang dianggap sebagai tokoh paling utama adalah Alfred
Marshall (1842-1924).Menger dianggap sebagai pelopor aliran Austria, dan Walras
dianggap sebagai pelopor aliran Lausanne. Berbeda dengan kedua tokoh itu,
Marshall dianggap sebagai pelopor aliran atau mazhab Cambridge (Cambridge School of Economics) di
Inggris.
Alfred Marshall
(lahir 26 Juli 1842-meninggal 13 Juli 1924 pada umur 81 tahun) adalah seorang
ahli ekonomi Inggris yang paling berpengaruh di zamannya. Ia menjadi professor dalam bidang ekonomi
polotik pada tahun 1868 di Universitas Cambridge.
Beberapa karyanya antara lain: The Pure Theory of Foreign Trade (1879), The Principles of Economy (1890), Industry and Trade
(1919), dan Money, Credit, and Commerce (1923). Dan bukunya yang dianggap paling berpengaruh adalah The Principles of
Economics.
Marshall dianggap sangat berjasa dalam memperbarui asas dan pos-tulat pandangan-pandangan ekonomi yang dikemukakan pakar klasik dan pakar neo-klasik sebelumnya. Menurut kaum klasik, harga barang ditentukan oleh besarnya pengorbanan untuk menghasilkan barang tersebut. Dengan demikian, bagi kaum klasik
yang menetukan harga adalah sisi
penawaran. Pendapat klasik tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh neo-klasik lain
seperti Jevons, Menger, dan Walras. Mereka sepakat bahwa yang menetukan harga
adalah kondisi permintaan.
Marshal sendiri
berpendapat bahwa selain factor biaya,
harga juga dibentuk oleh unsure subjektif lainnya, baik dari pihak
konsumen maupun produsen. Unsur
subjektif dari pihak produsen misalnya,
keadaan keuangan perusahaan. Sedangkan unsure subjektif dari pihak
konsumen misalnya pendapatan (dayabeli).
Lebih
jelas lagi, bagi Marshall terbentuknya harga merupakan integrasi dua kekuatan
dipasar:penawarandanpermintaan. Kalau
diibaratkan permintaan dan penawaran dengan dua sisi mata gunting, maka yang
memotong kertas bukanlah dua sisi gunting yang sebelah atas atau bawah saja,
melainkan hasil penjepitan secara simultan.
Perbedaan antara
Marshall dengan kaum klasik ialah dalam hal pendekatan penelitian. Kalau kaum klasik lebih menekankan untuk
menggunakan metode induktif, maka Marshall menggabungkan metode induktif-deduktif.
Marshall menggabungkan antara abstraksi dengan realisme yang didukung oleh data
statistic supaya terhindar dari ilusi. Banyak yang mengakui bahwa teknik
analisis marjinal ala Marshall lebih unggul dibandingkan dengan analisis
tokoh-tokoh sebelumnya. Maka, sejak itu, konsep marjinal yang boleh dikatakan
sebagai revolusi dalam ilmu ekonomi makin banyak digunakan dalam analisis
ekonomi.
Tahun 1908
kedudukan Marshall sebagai ketua jurusan
Ekonomi Politik digantikan oleh muridnya Arthurt Cecil Pigou (1877-1959). Pigou
adalah orang pertama yang mengemukakan
konsep real balance effect, yang
kemudian dikenal dengan dampak Pigou[1]. Sewaktu nilai
kekayaan rill naik, maka konsumsi akan naik, yang berdampak terhadap
peningkatan pendapatan dan terbukanya kesempatan kerja baru. Pandangan ini menjadi satu dasar mengapa kaum
klasik dan neo-klasik percaya bahwa keseimbangan kesempatan kerja penuh (full-employment
equilibrium) dapat dicapai sebagai hasil penurunan dalam tingkat upah.
E.
Persaingan
Monopolistis dan Pasar Tidak Sempurna
Pada
tahun 1930-an sejumlah pakar ekonomi melakukan revisi terhadap pemikiran
pemikiran neoklasik, terutama yang menyangkut teori pembentukan harga dan
keseimbangan pasar. Pemikiran ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh neoklasik
terdahulu (Generasi Pertama) seperti
Jevons, Menger, Walras, dan Marshal. Tokoh-tokoh neo-klasik generasi
kedua yang ikut melakukan revisi terhadap teori-teori klasik dan neo-klasik
generasi pertama tersebut antara lain adalah Pierro Sraffa (1903-1983), Joan
Violet Robinson (1903-1983), dan Edward Hasting Chamberlin (1899-1967).
Sebelum
memasuki abad ke-XX pada umumnya tokoh-tokoh klasik maupun neo-klasik generasi
pertama tidak pernah mempersoalkanapakh pasar dalam kenyataan kehidupan
sehari-sehari betul-betul mencerminkan pasar persaingan sempurna atau tidak. Karena
sebelum memasuki abad ke-XX kegiatan produksi
bersifat kecil-kecilan. Selain itu, jumlah perusahaan yang berpatisipasi
di pasar sangat besar.
Dalam situasi sperti ini asumsi pasar
persaingan sempurna tidak pernah dipersoalkan. Asumsi-asumsi tersebut misalnya:
1.
Terdapat
banyak pembeli dan penjual.
2. Barang yang dijual
dipasar relative sama dalam jenis, sifat dan mutu.
3. Tiap perusahaan bebas keluar masuk pasar.
4. Tidak ada pembeli
maupun penjual yang mampu mengubah harga yang ditentukan di pasar.
5. Setiap penjual dan
pembeli bertindak sebagai penerima harga (Price Takers).
6.
Setiap
pembeli dan penjual mempunyai informasi
yang lengkap tentang pasar.
7. Tidak ada pebedaan
biaya tranpor di antara penjual.
Tetapi setelah
abad ke-XX Sraffa mengamati bahwa dalam kenyataan asumsi pasar persaingan
sempurna yang dianut tokoh-tokoh klasik dan neo-klasiktidak dapat diterima
begitu saja. Setiap perusahaan mengubah keputusan outpu dan penawaran, harga
–harga dapat beubah. Hal
ini diungkapkan Sraffa dalam artikelnya: The Laws of Returns Under Competitve
Conditions tahun 1926.
Lalu atas dasar pemikiran Sraffa,
Chamberlin dalam bukunya antara lain menyebutkan bahwa banyak asumsi yang
digunakn dalam model pasar persaingan sempurna terutama untuk semua produk
homogen, tidak realistis. Untuk membedakan hal tesebut masing-masing perusahaan
memiliki khas sehingga harga pasar dapat dipengaruhi. Perbedaan produk
dapat dilakukan suatu perusahaan tertentu dengan menggunakan sarana promosi dengan
gencar dan unik.
Gambaran diatas
menjadi ciri utama dari bentuk pasar persaingan monopolistic. Dalam persaingan
tersebut, suatu perusahan dapat menaikkan harga relative terhadap harga
perusahaan –perusahaan pesaing tanpa kehilangan penjualan. Kurva pemintaan
dalam persaingan monopolistic mempunyai slope negative (miring dari kiri atas
ke kanan bawah), dan tidak horizontal seperti dalam model pasar persaingan
sempurna. Ini menjadi ciri khas pasas monopolistic.
Analisis yang
agak mirip dengan pandangan Chamberlin di atas dilakukan oleh Joan Robinson dari Cambridge, Inggris.
Kalau Chamberlin lebih tertuju pada dasar persaingan pasar monoplistik, Joan
Robinson lebih terfokus pada pembahasan pasar persaingan tidak sempurna.
Menurut Robinson, dalam pasar persaingan tak sempurna tiap perusahaan memegang
posisi monopoli.
Implikasi
pandangan ketiga tokoh (Sraffa, Chamberlin, dan Robinson) di atas bagi
pengemban model persaingan sempurna yang dikembangkan oleh kaum klasik hanya
merupakan konstruksi pemikiran tentang keadaan yang diinginkan belaka. Hal ini
baik dari segi teoritis. Akan tetapi mempunyai, keterbatasan dalam realistis.
Sejak itu orang semakin skeptic tentang model-model yang dikembangkan kaum
klsaik.
F.
Games Theory Dan
Informasi Asimetris
Konsep Games Theory
(sering disingkat GT) dikembangkan untuk
menjelaskan perilaku ekonomi dalam pasar yang diisi sedikit pelaku. Konsep GT
dikemukakan oleh Cournot (1838) dan Betrand (1883) dan dikembangkan oleh
Edgeworth (1925), John Vond Newmann dan Oscar Morgenstern (1944), dan akhirnya
disempurnakan oleh John Nash (1950).
Konsep GT yang
dikembangkan oleh John Nash bekerja atas asumsi informasi yang simetris.
Artinya, tiap pemain memiliki informasi yang sama berbeda dengan konsep GT
yang dikembangkan oleh John Harsanyi
(1967) yang beroperasi dalam situasi informasi yang bersifat asimetris.
Konsep GT yang
dikembangkan John Harsanyi dikembangkan lebih lanjut oleh William S. Vickreydan
James A. Mirrlees, GoergeAckerlof (The
market for Lemons), Joseph Stiglitz, dan Michael Spence.
Namun dalam
kenyataannya, ternyata pasar tidak
berjalan sesuai asumsi pasar sempurna. Teori dan konsep klasik mendapat
kritikan tajam dari aliran ekonomi lain,
baik dari tokoh-tokoh neo-klasik generasi kedua, maupun dari Keynes
beserta pengikutnya.
[1]Dampak
Pigou adalah suatu stimulasi kesempatan kerja yang disebabkan oleh meningkatnya
nilai riil dari kekayaan likuiditas sebagai konsekuensi dari turunya
harga-harga.
MADZHAB NEO- KLASIK