Gadai bukan hal baru bagi kita, karena transaksi
semacamnya sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal
masyarakat sejak lama. Sebagai ketetapan
Allah menghapus riba dari muka bumi, semakin maraknya usaha berlebel syariah
hingga muncul dan lahirlah gadai syariah (rahn). Ar-Rahn adalah transaksi gadai yaitu mendapat pinjaman dengan memberikan jaminan
kepada si pemberi pinjaman sesuai dengan prinsip syariah . Pemilik
barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan
penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang
digadaikan adalah ruhn atau marhun.
Tiap-tiap unsur rahn memiliki
syarat-syarat yang wajib dipenuhi demi tuntutan keshahihan transaksi tersebut.
Baik rahin, murtahin, marhun bih, dan marhun, telah ditentukan
apa yang wajib dipenuhi.
Dengan
dasar Al-Quran dan Hadist, sehingga diperbolehkan adanya praktek rahn dalam
Islam. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah prosedur dan sistem operasional
yang berlaku juga sudah sesuai dengan dasar Al-Quran dan As-Sunnah?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gadai yaitu:
1. Suatu pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai batas waktunya tidak
ditebus, barang menjadi hak yang memberi pinjaman.
2. Barang yang diserahkan sebagai tanggungan hutang.
3. Kredit jangka pendek dengan jaminan sekuritas yang berlaku tiga
bulan dan setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah
satu pihak yang bersangkutan.
Menurut bahasa gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs
yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah
terkurung atau terperajat.[1]
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.[2] Menurut bank
indonesia (1996), rahn adalah akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada
bank sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang.
Menurut Syara’ rahn
merupakan
حَبْسُ شَئٍ بِحَقٍّ يُمْكِنُ إِسْتِفَا ؤُهُ
مِنْهُ
“penahanan
terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran
dari barang tersebut.”[3]
Allah menetapkan kebolehan
pinjam-meminjam dalam firman-Nya dalam QS. Al-baqarah :283 yang berbunyi,
*
bÎ)ur
óOçFZä.
4n?tã
9xÿy
öNs9ur
(#rßÉfs?
$Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B
( ÷bÎ*sù
z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù
Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr&
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
3 wur
(#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$#
4 `tBur
$ygôJçGò6t
ÿ¼çm¯RÎ*sù
ÖNÏO#uä
¼çmç6ù=s%
3 ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
283. jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[4]
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a juga disebutkan
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:
وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلّي اللّهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًالَهُ
بِاالمَدِيْنَةِ عِنْدَيَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَمِنْهُ شَعِيْرًالِأَهْلِهِ
“Rasulullah
SAW. Merungguhkan (menggadaikan) baju besi kepada orang Yahudi di Madinah dan
mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.”
Dari hadist di atas dapat dipahami
bahwa agama Islam tidak membeda-bedakan antara kaum muslim dan non-muslim dalam
bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun
kepada non-muslim.[5]
Rukun rahn yaitu:
1.
Shighat atau ijab qabul
2.
Aqid (yang menggadaikan/Rahin dan
yang menerima gadai/Murtahin)
3.
Barang yang dijadikan jaminan (marhun)
4.
Adanya hutang
Adapun syarat- syarat yang harus
terpenuhi pada setiap rukun Rahn yaitu:
1.
Shighat, yaitu bisa dengan lisan atau
tulisan. Misalnya dengan kalimat “aku gadaikan emasku ini dengan harga Rp.
500.000,-“, yang kemudian dijawab oleh murtahin dengan kalimat “aku terima
gadai emasmu dengan harga Rp. 500.000,-“. Bahkan hanya dengan menggunakan
isyaratpun boleh.
2.
Aqid, adapun syarat bagi yang berakad
adalah ahli tasharruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.[6]
Keduanya juga harus lulus syarat al-ahliyah.
3.
Barang jaminan (Marhun), ulama Hanafiyah
mensyaratkan marhun, antara lain:[7]
a.
Dapat diperjualbelikan
b.
Bermanfaat
c.
Jelas
d.
Milik rahin
e.
Bisa diserahkan
f.
Tidak bersatu dengan harta lain
g.
Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h.
Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
Rasulullah SAW. Bersabda:
كُلُّ
مَا جَازبَيْعُهُ جَازَرَهْنُهُ
“setiap barang yang boleh
diperjualbelikan boleh dijadikan barang gadai”.[8]
4.
Hutang (Marhun Bih), dengan syarat berupa hutang
yang dapat langsung diberikan kepada rahin oleh murtahin. Hutang merupakan hak
yang wajib dikembalikan kepada orang yang berhutang.[9]
Jumhur ulama berpendapat bahwa murtahin
tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun
rahn mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada hutang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.[10] Berbeda
dengan Hanabilah dan Hanafiyah yang membolehkan pemanfaatan marhun
seizin rahin.
Mengenai biaya perawatan atas marhun,
fuqaha sepakat hal-hal yang berkaitan dengan marhun hakekatnya
adalah hak rahin. Begitupun biaya perawatannya.
Tapi akan berbeda ketika marhun
berupa hewan, misalnya sapi perah. Murtahin dalam hal ini diperbolehkan
mengambil susu dari sapi tersebut sebagai imbalan perawatannya, dikarenakan
biaya perawatan tidak dimintakan dari rahin.
Seperti dalam sebuah hadist:
الظَّهْرُ
يُرْكَبُ إذاكَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدَّرِّيَشْرَبُ إذَا كَانَ
مَرْهُوْنَاوَعَلَى الّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ (رواه البخارى)
“binatang tunggangan boleh
ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil
susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang
memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.”[11]
Madzhab Syafi’i memperbolehkan
pemanfaatan rahin atas marhun walaupun atas seizin murtahin,
karena barang tersebut masih milik rahin secara sempurna, asal tidak
merugikan murtahin. Hanabilah memperbolehkan pemanfaatannya atas izin murtahin.
Sedangkan Maliki melarang pemanfaatan marhun oleh rahin walaupun
dengan seizin murtahin, karena kepemilikannya sudah tidak sempurna.
Dalam hal ini, Syafi’i dan Hanafi
bersengketa. Syafi’i berpendapat bahwa murtahin tidak menanggung
kerusakan dan kehilangan marhun, selama bukan karena kelalaian murtahin.
Namun bagi Hanafi, kehilangan marhun tetap menjadi tanggungan murtahin
baik karena kelalaiannya maupun tidak.
Berakhirnya
akad rahn dengan beberapa keadaan:
1.
Marhun dikembalikan kepada pemiliknya
2.
Marhun dijual paksa oleh murtahin
3.
Rahin melunasi semua hutang
4.
Hutang dibebaskan atau dipindahtangankan
5.
Rahin
meninggal dunia
6.
Pembatalan rahn oleh murtahin
Sebelumnya kedua belah pihak
telah menyetujui akad kapan rahin akan melunasi hutangnya kapada murtahin.
Jika saat jatuh tempo rahin belum mengembalikan uang yang dipinjam, murtahin
tidak berhak mengakui kepemilikan atas marhun tersebut, tapi murtahin
behak menjual marhun. Siapa saja boleh membelinya, termasuk murtahin
sendiri.
Karena hak murtahin hanya
sebatas hutang rahin, maka jika penjualan marhun melebihi hutang rahin
kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada rahin. Begitupun
sebaliknya, apabila kurang itu menjadi tanggungjawab rahin.
Kontrak Rahn dipakai dalam
perbankan dalam dua hal berikut:[12]
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai kad
tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’i
al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad
tersebut.
Di beberapa negara Islam termasuk
diantaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif
dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn,
nasabah tidak dikenakan bunga: yang dipungut dari nasabah adalah biaya
penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn
dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat
ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Manfaat
yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah
sebagai berikut:
a.
Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main
dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank
b.
Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang
deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang
oleh bank.
c.
Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah
barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di
daerah-daerah.
Adapun manfaat yang langsung
didapat di bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah
untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebuut. Jika penahanan aset berdasarkan
fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga
harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara
umum.
Adapun risiko yang mungkin
terjadi pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah :
a.
Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
b.
Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
Secara umum, penerapan gadai yang
dikombinasikan dengan pembiayaan di perbankan syariah, dapat digambarkan
sebagai berikut.
|
|
|
Gambar 1. Skema gadai syariah (Rhan)[15]
Skim
gadai syariah merupakan produk pembiyaan yang fleksibel, karena dapat digunakan
untuk pembiayaan konsumtif dan juga produktif.[16]
Yang
menjadi pembahasan adalah bagaimana menentukan biaya pemeliharaan dan biaya
sewa tempat penyimpanan. Dalam pinjam-meminjam tidak diperbolehkan adanya
tambahan biaya yang didasarkan pada uang yang dipinjam. Sehingga dalam gadai
syariah, penentuan biaya ditentukan oleh objek barang yang digadaikan.
Contoh:[17]
Ibu Eva membutuhkan uang sebesar
Rp. 10.000.000,-. Untuk itu, beliau mendatangi Bank syariah untuk meminjam uang
dengan jaminan emas seberat 30 gr yang dimilikinya.(asumsi: biaya pemeliharaan
emas adalah Rp. 3000/gr).
·
Perhitungan Bank:
Harga taksiran bank atas emas =Rp.
12.000.000,-
Maksimum pinjaman =75%
dari nilai taksiran
=75%
x Rp. 12.000.000,-
=Rp.
9.000.000,-
Biaya pemeiharaan 30 gr emas =Rp.
90.000,-
·
Fasilitas Bank untuk Ibu Eva:
Pinjaman =Rp.
9.000.000,-
Biaya (dibayar di muka) =Rp.
90.000,-
Jangka waktu =
2 bulan
Berdasar pada Al-Quran dan Hadist
bahwa rahn boleh dijalankan, melahirkan transaksi gadai dengan prinsip syariah
yang dikenal dengan sebutan Ar-Rahn. Transaksi gadai syariah (rahn)
diperuntukkan untuk orang-orang yang membutuhkan dana jangka pendek dengan
menyerahkan jaminan kepada Lembaga Keuangan terkait.
Tapi di dunia perbankan, aplikasi rahn hanya berlaku untuk barang
jaminan berupa emas, baik perhiasan maupun batangan. Hal ini menghilangkan
citra bank syariah sebagai
lembaga keuangan yang tidak hanya
profit oriented tapi juga falah oriented.
Masalah yang timbul dari rahn emas sendiri bukan masalah sepele.
Seperti halnya “kebun emas”. Dimana orang dapat mendapatkan keuntungan hanya dengan bolak-balik bank dan toko emas. Sempat ricuh, tapi dengan
sigap dihadapi dengan dikeluarkannya peraturan maksimal pembiayaan rahn emas sebesar 10% dari total pembiayaan.
Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari teori ke praktek. Jakarta:
Gema Insani.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali
Pers.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka
Setia.
Zulkifli,
Sunarto. 2007. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta:
Zikrul Hakim.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah; cet. Ke-8, vol.3; hal. 169. Abdurrahman
al-Jaziry, Al-fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, vol.2, hal. 305
[5] Suhendi hendi, Fiqh Muamalah. Hal.107
[12]
Antonio Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori
ke Praktek
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15]
Zulkifli Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah
[16] Zulkifli
Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, hal. 87
[17] Ibid.
GADAI (RAHN)