A.PENDAHULUAN
Dalam
kegiatan perekonomian, telah sama-sama kita ketahui bahwa dikenal adanya siklus
ekonomi. Dimana ada saatnya ekonomi mengalami ekspansi sampai resesi. Resesi
timbul salah satunya dikarenakan oleh overheating
dimana salah satunya disebabkan oleh erlalu banyaknya uang beredar yang dapat
menyebabkan inflasi. Inflasi sendiri merupakan suatu keniscayaan dalam
perekonomian yang menggunakan fiat money.
Untuk menjaga kestabilan ekonomi,
Bank Indonesia bertugas untuk menjaga kestabilan rupiah dengan mengatur jumlah uang beredar
yang salah satunya melalui operasi pasar terbuka. Salah satu instrumen dalam
operasi pasar terbuka tersebut adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang
digunakan untuk menyerap kelebihan likuiditas yang ada dimasyarakat. SBI ini
diperjualbelikan antara Bank Indonesia selaku penerbit dengan Bank-Bank Umum.
Sistem yang digunakan adalah sistem bunga.
Seiring tumbuhnya perbankan syariah
di Indonesia, Bank Indonesia juga melirik bank syariah dalam rangka menjaga
kestabilan moneter. Akan tetapi sangat tidak dimungkinkan Bank syariah membeli
SBI dikarenakan SBI menggunakan sistem bunga. Untuk itu, Bank Indonesia mencari
alternatif lain sebagai Instrumen pengendalian moneter yang dapat diterapkan
pada bank syariah. Instrumen yang pertama diterbitkan adalah Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia (SWBI). Akan tetapi, SWBI tersebut dianggap belum terlalu efektif.
Untk itu, Bank Indonesia menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
sebagai pengganti SWBI.
Dalam penerbitan SBIS ini, tentu
saja perlu ditelaah terlebih dahulu apakah SBIS ini telah memenuhi Sharia compliance atau tidak. Baik dari
akad yang digunakan, maupun dari proses penerbitannya.
Sementara ini, akad yang digunakan
dalam Sertifikat bank Indonesia syariah ni adalah akad ju’alah. Dalam makalah
ini, kita akan membahas sudah sesuai syariahkah penerbitan SBIS ini.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.
12/11/2010, Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga dalam mata uang
Rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
merupakan salah satu instrumen kebijakan
moneter yang digunakan Bank Indonesia dalam melakukan operasi pasar terbuka
untuk menyerap kelebihan likuiditas di pasar.
Selain Serifikat Bank Indonesia,
terdapat pula instrumen kebijakan moneter yang lain yang disebut Sertifikat
Bank Indonesia Syariah ( SBIS).
Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya
disebut SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berdasarkan
jangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia[1].
b. Landasan Hukum
Berdasarkan fatwa DSN MUI No.63/DSN-MUI/XII/2007
tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), yang menjadi landasan hukum
diterbitkannya SBIS adalah sbb:
1.Firman Allah Swt.
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain
secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas suka rela di
antara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sungguh Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. (An-Nisa:29)
“...Dan
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(Al-Baqarah:275)
“Hai
orang-orang yang beriman ! Penuhilah akad kalian...”
(Al-Maidah:1)
“Maka, Jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutang-nya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...”
(Q.S Al-Baqarah : 283)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan
menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sessungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S.
An-Nisa:58)
“Dan tolong menolonglah dalam kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
(Q.S. Al-Maidah:2)
2. Hadits
Nabi Saw.
“ Tunaikanlah amanat itu kepada orang
yang memberi amanat kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orang yang
menghianatimu”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmizi)
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat
kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram”.(HR. Tirmidzi dar‘Amr bin’Auf)
3.
Kaidah fikih
“Pada dasarnya segala sesuatu dalam
muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.”
(As-Suyuthi, al-Asybah
wa al-Nadzair,60)
“Tindakan Imam [pemegang otoritas]
terhadap rakyat harus mengikuti maslahat.”(As-Suyuthi, Al-Asybah
wa al-Nadzair,121)
“Keperluan dapat menduduki posisi
darurat.”( As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair)
c. Konsep Dasar SBI (Konvensional)
Sertifikat
Bank Indonesia diterbitkan sebagai surat pengakuan utang berjangka waktu pendek
dengan sistem diskonto. Adapun
karakteristik SBI adalah sebagai berikut[2].
1.
SBI mamiliki satuan unit sebesar Rp 1000.000,00( satu juta rupiah)
2.
Jangka waktu SBI sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal
penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh tempo.
3.
SBI diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto.
4.
Nilai transaksi dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) sebagai berikut .
5. Nilai diskonto dihitung sebagai berikut:
Nilai Diskonto= Nilai Nominal-Nilai Tunai
6. SBI
diterbitkan tanpa warkat ( Scriptless)
7. SBI
dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
SBI sendiri diterbitkan melalui mekanisme lelang dan
berdasarkan target kuantitas dengan memperhatikan tingkat suku bunga / diskonto
yang terjadi.
d. Model Praktek di Lembaga
Keuangan Konvensional
Adapun proses
pelaksanaan dan pengajuan penawaran Lelang adalah sebagai berikut[3].
1. Pada
hari pelaksanaan Lelang SBI, peserta langsung mengajukan penawaran Lelang SBI
kepada bagian Operasi Pasar Uang, Direktorat Pengelolaan Utang (OPU-DPM)
melalui sarana BI-SSSS dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB.
2. Pengajuan
penawaran Lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi penawaran
kuantitas dan tingkat diskonto menurut jangka waktu SBI yang akan diterbitkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengajuan
penawaran kuantitas dari setiap peserta Lelang SBI sekurang-kurangnya 1.000
unit atau Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan selebihnya kelipatan 100
(seratus) unit atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
b. Penawaran
tingkat diskonto adalah dengan kelipatan 0,0625% (enam ratus dua puluh lima per
satu juta).
3. Mekanisme
pengajuan penawaran Lelang SBI melalui BI-SSSS dilakukan mengikuti tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran tentang BI-SSSS yang berlaku.
Dalam pengajuan Lelang
SBI, Bank dapat melakukan penawaran
langsung kepada Bank Indoneisia, maupun melaui pialang. Sedangkan
masyarakat hanya boleh melakukan penawaran lelang melalui pialang atau jasa
bank. Secara sederhana dapat kita gambarkan sebagai berikut.
Sumber: Leaflet
SBI
Sebagaimana kita tahu, bahwa SBI dapat diperdagangkan di
pasar sekunder. Perdagangan SBI ini dapat dilakukan oleh bank dengan Bank
Indonesia maupun dengan antar Bank. Dalam hal perdagangan SBI dengan Bank
Indonesia maka dilakukan secara Repurchase Agreement atau dikenal dengan SBI Repo[4].
Sementara untuk perdagangan SBI antar Bank dapat dilakukan secara Repo atau Out Right[5].
SBI yang
dapat ditransaksikan dalam perdagangan SBI yang dilakukan antar bank adalah SBI
yang masih memiliki sisa jangka waktu lebih dari 1 hari kerja. Setelmen
transaksi SBI dalam hal ini harus dilakukan melalui mekanisme Delivery
Versus Payment[6].
Keuntungan bank yang
didapatkan dalam Lelang SBI ini adalah berupa bunga yang dibayarkan oleh Bank
Indonesia pada saat jatuh tempo.
e.
Problem Kesyariahan
Akad
dalam transaksi SBI ini pada dasarnya
adalah bentuk akad utang-piutang antara Bank Indonesia dengan bank. Akan tetapi, dalam praktiknya
terdapat unsur bunga yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah dalam Firman-Nya:
“...Dan Allah
menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba..( Al-Baqarah:275)
Selain
itu, karakteristik SBI yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder juga
menyalahi syariat. Karena sama saja dengan memperjualbelikan utang yang
dilarang syariat.
F. Konsep Alternatif Syariah
keberadaan
SBI sebagai instrumen kebijakan moneter memiliki tingkat keberhasilan yang
signifikan. Akan tetapi SBI dengan
sistem diskontonya tentu saja membuat bank syariah tidak dapat ikut serta dalam
upaya pengendalian jumlah uang beredar tersebut. Untuk itu, kemudian Bank
Indonesia menyiapkan instrumen lain berupa Sertifikat Wadiah Bank Indnesia.
Akan tetapi, karakteristik dasarnya yang berprinsip wadiah rupanya kurang
efektif . Maka dari itu, untuk meningkatkan efektifitas pengendalian moneter,
maka Bank Indonesia menyiapkan sebuah instrumen yang bernama Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS).
SBIS
adalah surat
berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia[7]. SBIS tentu saja tidak menggunakan sistem
diskonto. Akad yang dapat digunakan dalam SBIS adalah akad[8]:
a. Mudharabah
(Muqaradhah)/Qiradh
b. Musyarakah
c. Ju'alah
d. Wadi'ah
e. Qardh
f. Wakalah
Dari keenam akad di atas, yang saat
ini telah digunakan hanyalah SBIS berdasarkan akad Ju’alah. Ju’alah adalah
janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh//ju’l)
tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan. Adapun dasar hukum Ju’alah adalah sebagai berikut.
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami
kehilangan piala raja; dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.( Q.S.
Yusuf:72)
“Sekelompok
sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung
tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung
disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: ’Apakah kalian
mempunyai obat, atau adakah yang dapat me-ruqyah (menjampi)?’
Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati
kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji
akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat
al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala
kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para
sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya
kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan
bersabda, 'Lho, kalian kok tahu bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah! Ambillah
kambing tersebut dan berilah
saya
bagian.'" (HR. Bukhari).
Rukun Ju’alah:
a. Sighat,
hendaknya kalimat itu mengandung arti izin kepada yang akan
b. bekerja
juga tidak ditentukan waktunya.
c. Ja’il,
yaitu pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian
hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
d. Maj’ul
lah , adalah pihak yang melaksanakan ju’alah.
e. Maj’ul
alaih, adalah pekerjaan yang dilaksanakan.
f. Upah
Adapun
syarat sahnya Ju’alah adalah sebagai berikut.
a. Orang
yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan
tindakan hukum. Yaitu; Baligh, berakal, dan cerdas.
b. Objek
Ju’alah harus berupa pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah.
c. Upah
atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau
bernilai dan jelas juga nilainya.
d. Ijab
harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa
ucapan qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan.
e. Pekerjaan
yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh
dimanfaatkan menurut hukum syara’.
g.
Praktik
di Lembaga Keuangan Syariah
Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak
bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank Syariah bertindak
sebagai maj’ullah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah(mahall
al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank
Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari
masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu
tertentu. Dalam hal supaya akad ini menjadi sah, rukun dan syarat Ju’alah pun harus dipenuhi.
Ketentuan akad SBIS Ju’alah[9] :
1. SBIS
ju’alah sebagai instrumen moneter boleh diterbitkan untuk pengendalian moneter
dan pengelolaan likuiditas perbankan syariah.
2. Dalam
SBIS ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il ( pemberi pekerjaan ); Bank Syariah bertindak sebagai maj’ul
lah ( penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah
partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian
moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menepatkannya di Bank
Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
3. Bank
Indonesia dalam operasi moneternya melalui penertiban SBIS mengumumkan target
penyerapan likuiditas kepada bank-bank syariah sebagai upaya pengendalian
moneter dan menjanjikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu bagi yang turut
berpartisipasi dalam pelaksanaannya.
Ketentuan
hukum dari SBIS Ju’alah adalah sebagai berikut[10].
1.
Bank Indonesia wajib memberikan imbalan
(reward/‘iwadh/ju’l) yang telah dijanjikan kepada Bank Syariah
yang telah membantu Bank Indonesia dalam upaya pengendalian moneter dengan cara
menempatkan dana di Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu, melalui
"pembelian" SBIS Ju'alah.
2.
Dana Bank Syariah yang ditempatkan di
Bank Indonesia melalui SBIS adalah wadi’ah amanah khusus yang
ditempatkan dalam rekening SBIS-Ju’alah, yaitu titipan dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan kesepakatan atau ketentuan Bank Indonesia, dan tidak
dipergunakan oleh Bank Indonesia selaku penerima titipan, serta tidak boleh
ditarik oleh Bank Syariah sebelum jatuh tempo.
3.
Dalam hal Bank Syariah selaku pihak
penitip dana (mudi’) memerlukan likuiditas sebelum jatuh tempo, ia dapat
me-repokan SBIS Ju’alah-nya dan Bank Indonesia dapat mengenakan denda (gharamah)
dalam jumlah tertentu sebagai ta'zir.
4.
Bank Indonesia berkewajiban
mengembalikan dana SBIS Ju’alah kepada pemegangnya pada saat jatuh tempo.
5.
Bank syariah hanya boleh/dapat
menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS Ju’alah sepanjang belum
dapat menyalurkannya ke sektor riil.
6.
SBIS-Ju’alah merupakan instrumen
moneter yang tidak dapat diperjual-belikan (non tradeable) atau dipindahtangankan,
dan bukan merupakan bagian dari portofolio investasi bank syariah.
SBIS diterbitkan dalam satuan unit sebesar Rp1.000.000,00
dengan mekanisme lelang. Berjangka waktu 1-12 bulan. SBIS ini juga diterbitkan
tanpa warkat. Selain itu, SBIS ini dapat diagunkan kepada Bank Indonesia akan
tetapi tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Penerbitan SBIS ini juga
menggunakan sistem Bank Indonesia- Scripless Securities
Settlement System (BI-SSSS)[11].
Dalam penerbitannnya, Bank Indonesia mengumumkan seberapa besar target
penyerapan likuiditas yang ingin dicapai.
Pengagunan SBIS kepada Bank Indonesia sesungguhnya
merupakan transaksi Repo SBIS yang menggunakan akad Qardh dan Rahn. Kemudian,
Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya atas Repo SBIS tersebut.
SBIS ini hanya dapat dimiliki oleh Bank Umum
Syariah( BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang telah memenuhi persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR) tertentu. Adapun pengajuan
lelangnya dapat dilakukan secara langsung oleh BUS atau UUS kepada Bank
Indonesia, maupun melalui perusahaan pialang pasar uang rupiah dan/atau Valuta
asing.
BUS
atau UUS wajib memiliki saldo rekening Giro dan Rekening surat berharga yang
cukup untuk melakukan penyelesaian pembelian SBIS. Selain itu, Bagi BUS atau
UUS yang mengajukan Repo SBIS wajib
memiliki saldo rekening giro dan saldo rekening surat berharga yang cukup untuk memenuhi kewajiban
penyelesaian Repo SBIS. Jika tidak memenuhi dua kewajiban tersebut, maka
transaksi SBIS dinyatakan batal.
Bank
Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas transaksi yang dinyatakan
SBIS yang dinyatakan batal tersebut berupa[12]:
a.
Teguran
tertulis; dan
b.
Kewajiban
membayar sebesar 0,01% (satu persepuluh ribu) dari nilai transaksi SBIS yang
dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap
transaksi SBIS yang dinyatakan batal.
Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana
disebutkan diatas, dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau
transaksi operasi moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah, yang dinyatakan batal
sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, BUS atau UUS dikenakan
sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter
syariah selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
Contoh Pembatalan Transaksi dan Penghitugan
Sanksi[13]
Contoh-1:
BUS
“A” pada hari lelang mengikuti 2 (dua) lelang SBIS masing-masing lelang SBIS
berjangka waktu 1 bulan dan 3 bulan dengan status penyelesaian Setelmen Dana
atas hasil lelang SBIS yang dimenangkan sebagai berikut :
Jenis
Lelang
|
Lelang
yang
dimenangkan (Rp.miliar)
|
Status Setelmen sampai dengan cut-off
warning
|
SBIS 1 bulan
|
50
|
Complete
|
SBIS
3 bulan
|
75
|
Settlement pending
karena saldo Rekening giro tidak cukup
|
·
Pembatalan hasil lelang SBIS dihitung 1 (satu)
kali untuk lelang SBIS 3 bulan.
·
Sanksi kewajiban membayar dikenakan sebesar 1
‰ x Rp75 miliar = Rp75juta
Contoh-2:
BUS
“A” pada hari lelang mengikuti 2 (dua) lelang SBIS masing-masing lelang SBIS berjangka
waktu 1 bulan dan 3 bulan dengan status penyelesaian Setelmen Dana atas hasil
lelang SBIS yang dimenangkan sebagai berikut :
Jenis
Lelang
|
Lelang
yang
dimenangkan (Rp.miliar)
|
Status Setelmen sampai dengan cut-off
warning
|
SBIS 1 bulan
|
50
|
Settlement pending
karena saldo Rekening giro tidak cukup
|
SBIS
3 bulan
|
75
|
Settlement pending
karena saldo Rekening giro tidak cukup
|
Pembatalan
transaksi lelang SBIS dihitung 2 (dua) kali yaitu untuk 1 bulan dan lelang SBIS 3 bulan.
·
Sanksi kewajiban membayar dikenakan
sebesar Rp125 juta yaitu
(1 ‰ x Rp50 miliar) + (1 ‰ x Rp75 miliar)
Ketika SBIS
ini jatuh tempo, maka Bank Indonesia mengembalikan dana milik Bank beserta upah
atas jasa membantu Bank Indonesia dalam pengendalian moneter. Adapun besaran
upah yang diberikan disesuaikan dengan tingkat bunga SBI.
Contoh Penghitungan Imbalan SBIS[14]
Contoh
-1
Tanggal
lelang : 5 Maret 2008
Jangka
waktu SBIS : 1 bulan (28 hari)
Tanggal
setelmen : 5 Maret 2008
Tanggal
Jatuh Waktu : 2 April 2008
Tingkat
diskonto SBI 1 bulan : 8 % (Lelang SBI dengan metode Fixed Rate
Tender)
Nominal
SBIS yang dimenangkan BUS “A” sebesar Rp.1.000.000.000,00, maka
besarnya
imbalan yang diterima BUS “A” pada saat SBIS jatuh waktu adalah
sebesar
Rp6.222.222,22 dengan rincian perhitungan sebagai berikut :
Nominal SBIS 1 bulan yang dimenangkan BUS “A”
|
Rp1.000.000.000,00
|
Tingkat imbalan
|
8%
|
Besarnya imbalan diterima BUS “A”
pada saat SBIS jatuh waktu
|
[Rp1.000.000.000,00 x(28/360) x 8%
=Rp6.222.222,22
|
Jumlah yang diterima BUS “A” pada
saat SBIS jatuh waktu adalah sebesar nilai nominal+ imbalan SBIS
|
Rp1.006.222.222,22
|
Contoh-2
Tanggal
lelang : 5 Maret
2008
Jangka
waktu SBIS : 3 bulan (91 hari)
Tanggal
setelmen : 5 Maret 2008
Tanggal
Jatuh Waktu : 4 Juni 2008
RRT
tk. diskonto SBI 3 bulan : 8,05 % (Lelang SBI dengan metode Variable Rate
Tender)
Nominal
SBIS yang dimenangkan BUS “A” sebesar Rp1.000.000.000,00, maka besarnya imbalan
yang diterima BUS “A” pada saat SBIS jatuh waktu adalah sebesar Rp20.348.611,11
dengan rincian perhitungan sebagai berikut.
Nominal
SBIS 3 bulan yang dimenangkan BUS”A”
|
Rp1.000.000.000,00
|
Tingkat
imbalan SBIS 3 bulan (=RRT tk. Diskonto hasil lelang SBI 3 bulan)
|
8.05%
|
Besarnya
imbalan yang diterima BUS”A” pada saat
SBIS jatuh waktu
|
[Rp1.000.000.000,00
x (91/360) x 8.05%]= Rp20.348.611,11
|
Jumlah
yang diterima BUS “A” pada saat SBIS jatuh waktu adalah sebesar nilai
nominal+imbalan SBIS
|
Rp1.020.348.611,11
|
h.Kritik Konsep dan praktik
Sertifikat
Bank Indonesia Syariah yang sebetulnya hadir sebagai instrumen kebijakan alternatif dalam pengendalian moneter
sebetulnya adalah sah-sah saja.
Penggunaan akad Ju’alah kini dalam SBIS
yang saat ini merupakan satu-satunya bentuk SBIS yang diterbitkan BI adalah
sah-sah saja. Karena hal tersebut telah memiliki dasar hukum yang jelas.
Kontroversi selama ini yang mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi Bank
Indonesia untuk memberikan imbalan kepada BUS atau UUS dalam hal SBIS ini
karena dianggap BUS atau UUS tersebut sesungguhnya tidak melakukan apapun dalam
pengendalian moneter, karena pada hakikatnya BI lah yang bekerja keras
mengendalikan uang beredar dengan menggunakan kebijakan-kebijakan lain.Tetapi
menurut saya, Bank Indonesia tetap harus memberikan imbalan karena dari awal BUS atau UUS telah membantu
menyerap sejumlah uang dari pasar untuk ditahan. Inilah yang menjadi Maj’ul ‘alaih (Pekerjaan yang
dilaksanakan). Jadi SBIS ini sudah
memenuhi syarat shari’a compliance. Akan
tetapi, sebetulnya bukan hanya kesesuaian akad saja yang kita lihat, karena
akad-akad dalam islam dapat kita cari kesesuaiannya, tetapi lebih dari itu kita
juga harus melihat apakah instrumen SBIS ini telah benar-benar dapat
mendatangkan manfaat atau malah berpotensi mendatangkan mafsadat.
Dilihat dari keberhasilan SBIS dalam
menyerap kelebihan uang beredar, kita bisa katakan bahwa SBIS ini telah efektif
dan mendatangkan manfaat dalam pengendalian moneter . Akan tetapi jika dilihat
dari kesesuaian dengan semangat yang di bawa ekonomi islam yang sangat
mengedepankan keseimbangan antara perkembangan sektor riil dengan sektor keuangan SBIS ju’alah belum dapat
membawa semangat tersebut. Sistem Ju’alah yang cukup menggiurkan dengan tingkat
imbalan yang dipersamakan dengan
diskonto SBI menjadi hal yang menarik minat perbankan untuk menyimpan dananya
dalam bentuk SBIS. Hal ini tentu saja akan menyebabkan berkurangnya aliran uang
untuk sektor produksi.
C.KESIMPULAN
Sertifikat Bank Indonesia Syariah
sebagai salah satu instrumen pengendalian moneter merupakan instrumen yang
sudah cukup efektif dalam menyerap kelebihan likuiditas yang ada
dimasyarakat. Akad ju’alah yang kini
menjadi satu-satunya akad yang diterapkan dalam penerbitan SBIS pun sudah
memenuhi sharia compliance. Semua
rukun dan syarat ju’alah telah terpenuhi. Akan tetapi, mengingat ekonomi
Syariah tidak hanya fokus kepada sektor moneter tetapi juga menghendaki
perkembangan di sektor riil, SBIS dengan akad Ju’alah ini perlu untuk di
tinjau kembali agar keseimbangan perkembangan
sektor riil dan moneter dapat
tercapai.
REFERENSI
Ghazaly,Abdurahman,
Ghufron Ihsan,sapiudin shidiq. Fiqh
Muamalat. Jakarta: Kencana Media Pranada, 2010
Mardani.
Fiqh Ekonomi syariah: Fiqh Muamalah.
Jakarta: Kencana Media Pranada, 2012
Fatwa DSN-MUI
No.62/DSN-MUI/XII/2007 tentang akad
Ju’alah
Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 63/DSN-MUI/XII/2007 tentang SBIS
Fatwa DSN-MUI No.64/DSN-MUI/XII/2007 tentang SBIS Ju’alah
[1] Peraturan Bank Indonesia No. 10/11/PBI/2008
[2] SE Bank
Indonesia No.6/4/DPM tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank
Indonesia
[3] Ibid
[4] SBI Repo adalah transaksi
penjualan SBI secara bersyarat berupa kewajiban membeli kembali oleh pihak
penjual sesuai dengan harga dan jangka waktu yang ditetapkan.
[5]
Perdagangan SBI secara Out Right adalah transaksi pembelian atau penjualan SBI secara lepas atau putus
tanpa kewajiban untuk menjual atau membeli kembali
transaksi Surat Berharga dengan cara Setelmen Surat Berharga
melalui BISSSS dilakukan bersamaan dengan Setelmen Dana di Bank Indonesia melalui
Sistem BI-RTGS.
[7]
Peraturan Bank Indonesia No. 10/11/PBI/2008
[8] Fatwa
DSN-MUI No.63/DSN-MUI/XII/2007
[10] Ibid
[11]
BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia
termasuk penatausahaannya dan penatausahaan surat berharga secara elektronik
dan terhubung langsung antara peserta, penyelenggara dan Sistem Bank Indonesia –Real
Time Gross Settlement.
[12]
Peraturan Bank Indonesia No. 12/18/PBI/2010 tentang perubahan atas PBI No.10/11/PBI2008
[13] Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.10/ 16 /DPM tanggal 31
Maret 2008
Akad-akad Sertifikat Bank Indonesia